Selasa, 12 Maret 2013

30 foto TSUNAMI Jepang, 11-3-2011: sebelum dan sesudah


GEMPA tsunami SENDAI JEPANG DALAM GAMBAR 2011-2013Dua tahun sudah sejak 11-3-2011, gempa dan tsunami telah menerjang seputaran Sendai, Jepang. Satu hal yang patut dicontoh adalah bagaimana mereka mampu mengumpulkan berbagai dokumentasi, baik dalam bentuk foto, video, suara, peta, dll. Silahkan cek kumpulan data mereka di sini.
Selain itu, pihak luar negeri pun ikut berbagi. Tengoklah rilis terbaru dari boston.com yang bercerita mengenai kondisi sebelum dan sesudah tsunami terjadi. Mungkin foto-foto ini merupakan yang terbaik dari apa yang pernah Anda lihat. Gambar di atas adalah salah satunya.

Pendidikan Karakter di Jepang "SUMIMASEN"

Bagaimana takjubnya dunia terhadap perilaku penduduk Jepang pasca musibah tsunami sudah banyak Anda baca. Dunia kagum dengan kedisiplinan dan kerukunan orang Jepang melewati masa-masa sulit. Tak ada rebutan makanan, walaupun perut kosong atau anak menangis. Tak ada saling serobot lalu lintas, meski sudah lebih dari lima jam jalan tidak bergerak. Tak ada amarah atau komplain yang diucapkan, kendati listrik terus-menerus padam dan kereta api tak kunjung datang.Semua orang tahu bagaimana cara menahan diri. Apa yang membuat orangorang Jepang mampu menahan diri seperti itu?

Setiap kali saya bersenggolan di Tokyo atau di Osaka yang padat, kata sumimasen menjadi begitu familier di telinga saya. Begitu cepat orang yang menyenggol mengucapkan kata tersebut yang berarti ‘permisi’ atau ‘maafkan saya’. Anak-anak di Jepang begitu cepat mengucapkan kata itu satu dengan lainnya, disertai anggukan kepala sebagai tanda respek (menghormat –red). Selama beberapa kali melakukan kunjungan dan studi di Jepang, seingat saya hampir tidak pernah saya melihat orang Jepang berkelahi atau rebut mulut. Bahkan saya tak pernah melihat orang-orang Jepang bertatap mata dengan tajam seperti yang sering kita saksikan saat remaja-remaja kita bertengkar. Tawuran? Ini apalagi. Praktis tidak terdengar. Di Anyer, seorang teman yang membuka usaha rumah makan Jepang yang dilengkapi pijat sehat bercerita bahwa pelanggan-pelanggannya semula adalah para eksekutif Jepang yang sedang bertugas di sana. Entah karena apa belakangan di sekitar Anyer datang pekerja asal Korea dan mereka secara beramai-ramai mendominasi tempat pijat. Tentu saja hal ini membuat pelanggan asal Jepang terdesak. Anda tahu apa yang dilakukan keluarga asal Jepang yang terdesak itu? Mereka diam seribu bahasa dan memilih mundur perlahan-lahan. Tak ingin terlibat dalam keributan telah menjadi karakter penduduk Jepang.
Beberapa pemuda magang asal Indonesia yang saya temui di Osaka pada September tahun lalu bercerita bagaimana nilai-nilai itu dibangun di Jepang. Berbeda dengan di Tanah Air, katanya, di taman kanak-kanak mereka tidak diajari matematika. Lantas apa yang diajarkan? “Mencuci piring, mengepel, dan origami,” ujarnya. “Satu lagi, kalau bersentuhan mereka harus cepat cepat bilang sumimasen,” katanya. Berbeda dengan di Indonesia.  Taman kanak-kanak yang tak lain adalah tempat bermain telah berubah menjadi sekolah yang dilengkapi target yang luar biasa ambisius. Di pintu sekolah, ibu-ibu muda menggunjingkan pelajaran berhitung dengan membanggakan anak-anaknya yang katanya sudah pintar menghafal angka 1 sampai 100. Sementara itu, stasiun televisi sangat getol menampilkan anak-anak pandai menghafal nama-nama negara atau bendera berbagai bangsa. Tak ada yang mempersoalkan anak-anak itu berbicara sambil mengunyah makanan atau terduduk- tidur seenaknya. Kita telah lebih mengedepankan aspek kognitif ketimbang aspek psikomotorik yang menjadi pembentuk karakter yang penting.
SOP
Orang-orang Jepang bagi saya adalah sosok yang sangat menarik. Agak pemalu, sangat santun, dan bicaranya halus. Terkesan tidak ingin menonjolkan diri dan secara individu tidak begitu dominan. Namun, bila berada dalam sebuah tim mereka pun menunjukkan keperkasaan. Manajemen Jepang pada dasarnya adalah manajemen SOP (standard operating procedure). Apa pun juga mereka ingin standardisasikan. Prinsipnya semua harus dibuat tertulis, persis seperti filosofi ISO: “write what you do, and do what you write” (Tulis apa yang Anda kerjakan,dan kerjakan seperti yang tertulis).  Dengan modal SOP seperti itu Jepang membangun industrinya dengan detail, terencana, repetisi, dan terkoreksi melalui mekanisme kontrol. Setiap kali seseorang menemukan sebuah produk dari sebuah sampel yang diambil ada yang cacat, proses produksi pun dihentikan. Mereka memencet tombol, mesin berhenti, dan semua orang dalam satu line di pabrik segera masuk ruang rapat. Mereka menelusuri sebab-sebab dan memperbaikinya on the spot. Seorang bintang olahraga baseball Jepang mengatakan: “Yang paling saya bosan bermain di sini adalah seringnya coach meminta time out.” Mereka rewel dan detail, tetapi hasilnya luar biasa. Cerita lain soal SOP dialami istri saya saat dia membeli kamera yang menjadi hobi anak kami. Dua jam dia berbicara dengan petugas hanya untuk meminta agar kamera yang dibelinya dapat diganti pada bagian-bagian tertentu, ternyata tidak selesai-selesai. Pegawai KBRI yang menjemput kemudian memberi tahu kami: “Di sini kalau Anda memesan makanan terimalah sesuai menu. Kalau di Indonesia Anda bisa meminta pesanan makanan ditambahi cabai, kurangi lemak, tambahi jamur atau buat lebih asin, demikian mudah. Di Jepang semua orang bekerja sesuai SOP dan menyesuaikan diri dengan masing-masing selera adalah masalah besar.” Mungkin karena itu pulalah Bapak dan Ibu mengalami kesulitan untuk mengirim bantuan makanan, obat-obatan, pakaian, bahkan relawan kemanusiaan untuk membantu evakuasi para korban Tsunami di Jepang. Semua sudah ada SOP-nya dan standar mereka begitu tinggi.
Kontrol begitu ketat demi sebuah kesejahteraan. Namun apa pun yang terjadi, tetaplah menunduk, mohon ampun, dan berdoalah agar saudara-saudara kita yang terkena musibah di Jepang diberi kekuatan dan semoga arwah para korban diberi ampunan. Kita juga berdoa agar musibah seperti itu menjauh dari Tanah Air.

Sistem Pendidikan di Jepang vs Finlandia


Tulisan tentang hebatnya sistem pendidikan di Finlandia mungkin sudah basi. Namun beberapa waktu lalu saya membahas pendidikan Finlandia ini bersama seorang teman. Dan saya melihat belum ada tulisan Bahasa Indonesia yang membahas lebih dalam mengenai kualitas pendidikan dan sistem pendidikan Finlandia. So, here we go..
Popularitas Finlandia
Finlandia dulunya terkenal sebagai negara produsen raksasa handphone, Nokia. Kini, popularitas Nokia meredup karena pasaran smartphone dirajai oleh iPhone dan Android. Walaupun Nokia sekarang sudah punya produk smartphone berbasis Windows Phone, tapi masih belum bisa menyamai dominasi iPhone dan Android.
Namun, belakangan Finlandia telah menarik mata dunia melalui survei-survei global mengenai kualitas hidup (Newsweek menasbihkan Finlandia sebagai negara dengan kualitas hidup No.1 di dunia tahun 2010) dan sistem pendidikan nasional Finlandia telah menerima banyak pujian dan pengakuan karena di beberapa tahun belakang pelajar-pelajar Finlandia mendapatkan skor tes tertinggi sedunia.
Sorotan dunia ke sistem pendidikan nasional Finlandia berawal dari survei PISA. Survey ini dilakukan setiap 3 tahun sekali oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD/ Organisasi untuk Kerja Sama dan Perkembangan Ekonomi). Survei ini membandingkan pelajar usia 15 tahun dari berbagai negara pada bidang baca-tulis, matematika, dan sains.
Finlandia meraih peringkat hampir teratas pada ketiga kompetensi tersebut pada semua survei di tahun 2000, sejajar dengan pelajar super jenius dari Korea Selatan dan Singapura. Pada survei tahun 2009, Finlandia agak terpeleset sedikit, di mana pelajar dari Shanghai, China meraih skor terbaik, tapi pelajar Finlandia tetap nyaris teratas. 
Amerika Serikat saja tidak masuk 10 besar. Indonesia? Indonesia masuk zona degradasi cyiin.. alias zona bawah. Intip aja di sini. Saya mencoba mencari hasil survei tahun 2012, tapi sepertinya belum dirilis pada saat tulisan ini dibuat.
Dibandingkan dengan stereotipe model pembelajaran Asia Timur (murid dijejali hafalan yang super buanyak super lengkap dan perlu waktu berjam-jam untuk berhasil menghafalkannya di luar kepala), keberhasilan Finladia sangat menarik. Sekolah-sekolah di Finlandia sangat sedikit memberikan PR (tidak lebih dari 1/2 jam waktu pengerjaan) dan lebih banyak melibatkan siswanya dalam aktivitas yang lebih kreatif. Hal ini lah yang membuat Finlandia kini sering menjadi tujuan studi banding oleh delegasi asing dari berbagai belahan dunia.
Pasi Sahlberg, Direktur Mobilitas Internasional, Departemen Pendidikan Nasional Finlandia telah membukukan kesuksesan sistem pendidikan Finlandia ini: Finnish Lessons: What Can the World Learn from Educational Change in Finland?
Karakteristik Sistem Pendidikan Finlandia1. Tidak ada sekolah swasta di Finlandia
2. Tidak Ada Ujian Standar
3. Besarnya Tanggung Jawab Guru
4. Kurikulum yang Fleksibel
5. Tidak Ada Kompetisi
6. Variasi Pilihan Sekolah yang Sedikit
Saya adalah pelajar usia 18 tahun Finlandia (bilingual bahasa Finlandia dan bahasa Inggris). Saya adalah siswa dengan performa yang selalu baik. (Dalam ujian matrikulasi, saya meraih nilai yang tinggi, masuk ke 5% siswa skor tertinggi di Finlandia). Saya dididik dengan sistem pendidikan Finlandia hampir seumur hidup saya, kecuali masa 3 tahun dalam program International Baccalaureate. 
Program IB menekankan apa yang disebut dengan siswa “berprestasi”. Bagi saya, ini adalah lingkungan belajar yang penuh stres. Mengatur fokus pada pekerjaan sekolah sulit bagi saya, ketika hanya murid bintang kelas yang benar-benar mendapat perhatian guru dan sisanya dibiarkan berjuang sendiri. Keadaan ini membuat masing-masing murid beradu satu sama lain – saling tinggi-tinggian nilai ujian (Wow, padahal di sini pemadangan sehari-hari tuh). 
Saya meninggalkan program IB setelah tiga tahun, persaingan yang tinggi tidak memberi saya kesempatan lagi untuk sukses dibandingkan dengan pendekatan Finlandia yang ramah. Minat tertentu dan bakat saya selalu diakui oleh guru saya. Guru Finlandia fokus pada menjaga standar kelompok, bekerja sama dengan masing-masing murid. Para siswa yang dirasa lebih sulit mengikuti materi, menerima perhatian dan bantuan yang mereka butuhkan secara individual. Ini tidak berarti bahwa siswa berbakat menjadi tertahan, malah sebaliknya. Guru Finlandia menerima kenyataan bahwa satu kelas terdiri dari berbagai individu dengan tahap perkembangan intelektual yang berbeda. Suasana seperti ini sangat menguntungkan, dan bagi perfeksionis seperti saya, lingkungan ini lebih mudah untuk melakukan yang terbaik. 
Sekolah Finlandia memiliki kurikulum nasional yang hadir untuk memberikan guru kebebasan lebih. Ya, saya tahu kedengarannya bertentangan, namun kurikulum hanya menyatakan dengan jelas apa yang harus diajarkan dan diraih sekolah untuk masing-masing kelompok usia. Tidak ada aturan untuk urutan atau metode yang terlibat. Hal ini memungkinkan untuk setiap guru untuk meng-cover setiap topik dengan cara yang menurut mereka menguntungkan dan masuk akal.

Hanya ada sedikit sekolah independen di Finlandia, dan bahkan semuanya dibiayai pemerintah. Tidak ada yang diperbolehkan untuk membebankan biaya sekolah. Tidak ada universitas swasta. Dengan kata lain, pelajar-pelajar di Finlandia bersekolah di sekolah negeri, dari preschool hingga Ph.D.
Hal ini sungguh jauh berbeda dengan Amerika Serikat, misalnya. Di Amerika Serikat, biaya sekolah SMA swasta saja bisa mencapai $35,000 selama setahun.
Di Indonesia sendiri, untuk masuk TK saja, orang tua murid harus merogoh duit hingga 10 juta rupiah, hanya untuk uang pangkal. Uang kuliah? Hehehe. Pas jaman saya masuk kuliah (2007), uang pangkal sekitar 25 juta. Uang semester saya masih cukup terjangkau saat itu, 1,5 juta. Uang kuliah junior di bawah saya (2008 ke atas) semakin melejit mahal. Dari 2,5 juta hingga 7,5 juta. Terakhir, saya tanya teman saya yang masih berkuliah semester 6 di universitas yang sama, uang semesternya adalah 5 juta rupiah. Itu universitas negeri lho. Hehehe. Apa kabar universitas swasta? Adik saya yang masuk universitas swasta jurusan kedokteran gigi, biaya kuliahnya mencapai 200 jutaan. Hiiik.
Menurut Sahlberg, Amerika (dan negara lain yang menerapkan kapitalisme di sistem pendidikannya, termasuk Indonesia, menurut saya) selalu terobsesi dengan pertanyaan berikut: Bagaimana cara memantau kinerja siswa jika tidak diuji secara konstan? Bagaimana bisa meningkatkan pengajaran jika tidak ada pertanggungjawaban ke guru-guru yang payah atau tidak memberikan penghargaan pada guru yang baik? Bagaimana cara menciptakan kompetisi dan melibatkan sektor swasta? Bagaimana cara menciptakan variasi pilihan sekolah kepada orang tua/pelajar?
Jawaban dari realita Finlandia tampaknya bertentangan dengan mindset orang Amerika ataupun para reformis pendidikan lainnya.
Finlandia tidak memiliki ujian nasional pada tiap jenjang pendidikan. Yang ada hanyalah Ujian Matrikulasi Nasional yang diambil pada jenjang sekolah menengah atas yang bersifat ‘sukarela’. 
Wajib belajar di Finlandia sendiri adalah antara usia 7 – 16 tahun. SD 6 tahun, SMP 3 tahun. Setelah lulus SMP, siswa memiliki pilihan: 1. boleh langsung masuk dunia kerja atau 2. masuk sekolah persiapan profesi atau gimnasium (sekolah menengah atas). Sekolah menengah atas ini setara dengan jenjang SMA di Indonesia. Lulusan sekolah menengah atas ini nantinya bisa lanjut lagi ke politeknik ataupun universitas. Pada intinya, tidak ada UN SD dan SMP. Dan mungkin UTS dan UAS lainnya.
Kalo ga ada ujian, bagaimana cara mereka mengukur kinerja pendidikannya? Guru-guru di sekolah negeri Finlandia mendapatkan pelatihan khusus untuk dapat menilai siswa satu kelas menggunakan tes independen yang mereka ciptakan sendiri. Semua anak mendapatkan kartu rapor tiap akhir semester, tapi rapor ini berdasarkan penilaian individu oleh tiap guru. Secara berkala, Menteri Pendidikan memantau kemajuan nasional dengan menguji beberapa sampel kelompok dari sekolah yang berbeda.
Sistem ini memungkinkan dihasilkannya penilaian yang sangat spesifik ke kemampuan tiap individu siswa. Bukan sistem penilaian umum yang mungkin kurang dapat menjangkau kemampuan spesifik tiap siswanya. Guru dapat mengeluarkan kreatifitasnya untuk memberikan perhatian khusus ke tiap siswa. Guru jadi punya tanggung jawab dan peran yang lebih besar. 
Kadang seorang guru tahu apa yang harus dilakukan untuk membantu siswanya tapi dibatasi oleh sistem sekolah yang menyatakan bahwa lebih penting untuk bergerak lanjut mengikuti kurikulum yang ada daripada memperlambat “hanya demi” siswa-siswa yang membutuhkan waktu tambahan dalam menerima pelajaran. 
Guru dan staf administrasi sekolah di Finlandia memiliki martabat/gengsi yang tinggi, gaji yang layak, dan banyak tanggung jawab. Gelar Master (S2) diperlukan untuk menjadi guru. Program pelatihan guru di Finlandia adalah salah satu sekolah profesional yang paling selektif di negara ini. Jika terdapat guru yang performanya buruk, tanggung jawab kepala sekolah untuk menangani hal tersebut.
Sistem sekolah Finlandia tidak menegakkan kurikulum di mana setiap sekolah “harus mengajarkan kurikulum yang sama dengan metode yang sama pada jadwal yang sama.” Kementerian Pendidikan meluncurkan “Kurikulum Dasar” yang fleksibel, semacam panduan umum mengenai mata pelajaran apa yang harus diajarkan dan tujuan yang harus dicapai di setiap tingkat kelas. 
Kurikulum Dasar ini berlaku sebagai dasar untuk setiap sekolah saat mereka mempersiapkan kurikulum sendiri, di mana mereka dapat berkreasi menekankan pada pedagogi tertentu, nilai tertentu (misalnya, sekolah hijau), keterampilan (seni, olahraga, bahasa), atau isu-isu lokal (misalnya, sekolah multikultural).
Setiap kelas difasilitasi hingga 3 orang guru. Apa yang guru pendidikan pelajari dari universitas memberi mereka berbagai macam metode pengajaran yang dapat digunakan sesuka mereka. Keanekaragaman dipandang sebagai kekuatan yang nyata dengan tidak mengisolasi siswa yang berbakat (dan/atau yang kaya) ke sekolah swasta seperti yang terjadi di Amerika atau di Indonesia, di mana kebanyakan siswa pintar dan kaya akan lebih cenderung masuk sekolah swasta bergengsi.
Para pelajar di Finlandia sangat menikmati belajar, selalu rindu sekolah, tidak rela tidak sekolah hanya karena libur ekstra atau sakit. Bisa dikatakan guru lah kunci keberhasilan dari sistem sekolah Finlandia, dan individualitas yang diperbolehkan dalam kelas. Para guru melihat siswanya sebagai individu dengan kebutuhan yang berbeda: fokus pada masing-masing anak dan kekuatan serta masalah tiap anak.
Sistem pendidikan Finlandia juga tidak mengenal namanya kompetisi. Ga ada main peringkat, ranking-ranking-an, juara 1 juara 2 dan seterusnya. Tidak ada daftar sekolah terbaik atau guru terbaik di Finlandia. Pendorong utama dari kebijakan pendidikan bukanlah persaingan antar guru dan antar sekolah, tapi KERJA SAMA .
Tidak adanya persaingan pada pendidikan publik di Finlandia sehingga guru yang terbaik tidak dapat ‘dicuri’ untuk bekerja bagi sektor swasta. Mereka tidak mengukur prestasi hanya untuk memberi label pada siswa. 
Bahkan bisa dibilang, Finlandia memandang kompetisi dalam lingkungan pendidikan merupakan konsep yang destruktif. Mental anak-anak dapat dihancurkan oleh evaluasi terus-menerus dan membuat anak-anak ini sendiri percaya bahwa mereka tidak cukup baik. Bagi Finlandia, ketika anak-anak dapat unggul pada apa yang mereka dapat lakukan dengan baik, bukan diukur untuk memenuhi standar, mereka dapat menghasilkan performa yang terbaik. Anak-anak harus diberikan pendidikan sehingga mereka dapat berkembang terlepas dari bakat mereka. 
Tujuan pendidikan seyogianya dapat membentuk siswa menjadi manusia yang lebih baik yang menghargai diri mereka sendiri dan dapat bernavigasi dalam kehidupan tanpa berpikir bahwa mereka lebih ‘pintar’ atau sebaliknya, tidak berharga.  Oiya, siswa dengan development disorder ataupun penyandang cacat lainnya diletakkan pada kelas yang sama dengan siswa umum lainnya lho.
Di sini, orang tua sibuk mencarikan sekolah terbaik untuk anaknya, masuk sekolah swasta yang menterenglah, universitas negeri di pulau Jawa. Di Finlandia, pilihan sekolah tidak lagi menjadi prioritas utama. Pilihan sih ada, tapi ya variasinya sama saja.
Puluhan tahun lalu, ketika sistem sekolah Finlandia sangat membutuhkan reformasi, tujuan dari program yang diterapkan Finlandia, yang mengantarkan Finlandia pada kesuksesan saat ini, bukanlah mengejar keunggulan akademis (excellence), tapi KESETARAAN (equity).
Sejak 1980-an, pendorong utama kebijakan pendidikan Finlandia adalah pemikiran bahwa setiap anak harus memiliki kesempatan yang sama untuk belajar, terlepas dari latar belakang keluarga, pendapatan, atau lokasi geografis. Pendidikan utamanya bukanlah cara untuk menghasilkan pemain bintang, tetapi sebagai alat untuk meratakan kesenjangan sosial. 
Dalam pandangan Finlandia, sekolah harus sehat, lingkungan yang aman untuk anak-anak. Hal ini dimulai dengan yang dasar. Finlandia menawarkan semua murid makanan sekolah gratis, akses mudah ke perawatan kesehatan, konseling psikologis, dan bimbingan individual siswa. 
Malahan, karena keunggulan akademis bukanlah prioritas khusus bagi Finlandia, ketika para pelajarnya meraih skor begitu tinggi pada survei PISA pertama pada tahun 2001, banyak warga Finlandia mengira, “Ah, ngaco tuh hasil survei nya”. Namun, hasil tes PISA selanjutnya mengkonfirmasi bahwa Finlandia (tidak seperti, katakanlah, negara-negara serupa seperti Norwegia) berhasil menciptakan keunggulan akademik melalui fokus kebijakan pada kesetaraan.
Berikut testimoni salah satu siswa Finlandia.

Minggu, 10 Maret 2013

Pendidikan Moral Orang Jepang


Dulu, sewaktu pertama kali saya datang ke Jepang, berbagai euphoria  saya rasakan. Begitu kagumnya saya melihat Jepang yang sangat teratur, disiplin, dan “bermoral”. Dari mana semua ini dibangun? Sedangkan saya tahu bahwa orang-orang Jepang itu rata-rata tidak beragama. Negara juga tidak pernah campur tangan dalam urusan agama. Tidak ada pengaturan agama dalam konstitusi Jepang, agama adalah urusan individu. Departemen Agama, Menteri Agama, apalagi hari libur agama tidak diadakan.
Dalam dunia pendidikan, agama tidak diajarkan secara khusus di dalam kelas. Pada dasarnya, agama bagi orang Jepang hanya sekedar budaya, tradisi, atau kebiasaan saja. Tentu ini menghadirkan pertanyaan besar bagi saya: Bagaimana mengajarkan moral tanpa agama? Sedangkan yang saya pahami selama ini, siapapun yang ingin moralnya menjadi baik, maka ia harus memperdalam agamanya.
Pertanyaan besar ini yang menjadi salah satu motivasi saya untuk “blusukan” ke lingkungan pendidikan dasar di Jepang. Kenapa pendidikan dasar? Karena saya pikir dari sinilah pendidikan moral dan karakter itu bermula. Alhamdulillah, saya berkesempatan hadir memenuhi undangan SD Oshino yang menjadi bagian dari English Exchange Project.
Sempat berdiskusi dengan salah seorang guru di SD tersebut, Ishimaru sensei. Beliau bertanya ke saya, “Apa yang membuat Jepang ini menarik bagi kamu?”. Saya jawab bahwa Jepang itu “unik” dan dua hal yang hanya ada di Jepang adalah pelajaran dari keadaan masyarakat Jepang dan kulturnya yang khas. Saya katakan ke beliau, Jepang itu punya dua sisi yang saling bertolak belakang, tapi itu sebenarnya menjadi sinergi bagi kemajuan Jepang.
Di satu sisi Jepang adalah negara modern dengan kemajuan teknologinya. Tapi, di sisi lain, Jepang juga merupakan negara yang sangat tradisionil, baik dari cara berpikir maupun kultur masyarakatnya. Di satu sisi, Jepang sebagai negara dengan kekuatan ekonomi ketiga terbesar di dunia. Tapi, di sisi lain, orang Jepang masih memegang norma sedari nenek moyang mereka dan spirit tersebut masih dipertahankan hingga kini. Norma dalam masyarakat Jepang sangat terkait dengan ajaran Shinto dan Budha, tetapi menariknya kedua agama ini tidak diajarkan di sekolah dalam bentuk pelajaran wajib.
Kurikulum sekolah di Jepang memiliki tiga aspek: subjek (科目 – kamoku), pendidikan moral (道徳教育 – doutoku-kyouiku), dan ekstrakurikuler. Pendidikan moral dalam bahasa Jepang adalah道徳教育 (doutoku-kyouiku) dan merupakan gabungan dari kata 道徳 (doutoku) yang artinya moral; 教育 (kyouiku) yang artinya pendidikan. Kata moral道徳 (doutoku) disusun dari kanji 道 (michi – jalan) dan 徳 (toku – kebajikan). Jadi, moral adalah jalan kebajikan.
Karakter道banyak dipakai dalam terminologi Jepang, seperti 茶道chadou (tea ceremony), 武士道bushidou, 剣道kendou, 合気道aikidou, 柔道judou (olahraga tradisional Jepang), dan書道shodou (kaligrafi). Filosofi 道 merepresentasikan proses metamorfosis dengan spirit pengulangan (repetisi) untuk mencapai kesempurnaan, hingga mencapai taraf “repetition without thinking” yang artinya ini telah menjadi kebiasaan (habit). Demikian juga moral道徳dan karakter yang harus terus dilatih dan diulang terus-menerus hingga mencapai taraf kesempurnaan (habit). Karena habit itu dilahirkan dari ayah yang bernama latihan dan ibu yang bernama repetisi.
Jika dalam proses metamorfosis tersebut mengarah pada kehidupan yang immoral, maka akan disebut 不道徳 (fudoutoku), yaitu bukan pada jalan yang benar. Sebaliknya, akan disebut道を極める (michi wo kiwameru), yaitu mengambil jalan ke tujuan utamanya. Maka, karakter 道 sering digunakan juga untuk menggambarkan keadaan dalam proses belajar atau mengasah keterampilan. 道 adalah nilai sosial dalam kultur Jepang.
Konsep道 diungkapkan dalam bentuk aslinya sebagai bushi (武士) selama periode feodal, lebih dikenal dengan spirit bushidou ( 武士道). Bushidou dipandang sebagai sumber hukum moral di Jepang. Sebagaimana pasukan Barat, samurai (bushi) bersumpah setia kepada tuan mereka dan siap mengorbankan dirinya untuk tuan dan negerinya. Untuk memenuhi perannya itu, samurai dilatih secara fisik dan mental. Dan ini mengisyaratkan adanya latihan dan repetisi.
Dalam penerapannya di lingkungan SD, anak-anak dilatih berbagai kebiasaan dengan metode learning by doing, seperti: makan siang bersama, bekerjasama dengan teman, mengucap salam, aktivitas motorik (olahraga), dan berani tampil di depan kelas. Dan guru tidak pernah lupa memuji mereka, untuk menyuplai semangat dan kebanggaan yang selalu terkenang.
Di SD Jepang juga diajarkan pendidikan kebiasaan hidup (生活科 – seikatsuka). Hipotesis saya, pembekalan di masa pendidikan dasar inilah yang membuat kedisiplinan dan keteraturan dalam masyarakat Jepang.
Di sekolah Jepang, anak-anak langsung dihadapkan dengan pengalaman. Saat mereka belajar bahasa Inggris, mereka langsung dipertemukan dengan orang asing seperti dalamEnglish Exchange Project beberapa hari lalu. Anak-anak SD di Jepang sedang giat-giatnya belajar bahasa Inggris, tapi di negeri “I” sana kurikulum bahasa Inggris akan dihapuskan. Tanya kenapa?
Belakangan juga jam pelajaran olahraga diberikan melebihi jam mata pelajaran yang lain. Sewaktu saya SD dulu, jumlah jam pelajaran olahraga untuk semua kelas di SD sebanyak 2 jam per minggu. Padahal, jam pelajaran ini yang paling saya tunggu-tunggu. Jumlah jam pelajaran ini bahkan sama untuk SMP dan SMA. Bisa dikatakan olahraga adalah pelajaran pelengkap saja. Sementara di Jepang jam pelajaran olahraga di SD berbeda untuk setiap jenjang kelas dan sekolah.
Kita sudah mahfum bahwa dunia anak-anak adalah dunia bermain. Maka, memang sebaiknya pelajaran yang lebih banyak diberikan adalah yang merangsang gerak motoriknya, seperti olahraga. Melalui metode ini juga akan lebih mudah mengajarkan kebiasaan-kebiasaan kepada mereka melalui latihan dan repetisi.
Sebenarnya pelajaran olahraga di SD di Jepang sangat menarik dan hampir semua anak terlihat enjoy. Sehabis jam makan siang bersama, ruangan kelas di-set sebagai arena bermain, sehingga anak-anak bebas bermain apa saja seperti lompat tali. Nampaknya, kita melupakan satu hal dari proses pembelajaran: bagaimana supaya bisa enjoy dalam prosesnya. Ada kajian pedagogik yang cukup menarik, yakni tentang teori limbik otak yang terbuka ketika anak didik merasa enjoy dengan apa yang dipelajari, sehingga materi yang diajarkan akan lebih mudah terserap.
Ada perbedaan antara ‘belajar tentang’ dan ‘belajar (dengan melakukan)’. Misalnya, belajar tentang moral ‘sabar’, berarti mempelajari teori-teori yang terkait tentang sabar dan itu dapat dilakukan tanpa perlu merasakan situasi dimana kita harus bersabar (cukup melalui video ceramah).
Lain halnya dengan belajar (dengan melakukan) bersabar. Konon, sabar itu ilmu tingkat tinggi; belajarnya setiap hari, latihannya setiap saat, ujiannya sering mendadak, dan sekolahnya seumur hidup. Bahwa belajar (dengan melakukan) pada dasarnya berarti mempraktikkan sesuatu, sedangkan ‘belajar tentang’ hanya sebatas pada tahap mengetahui saja.
Di Jepang, pendidikan ditangani oleh 文部科学省(monbukagakusho) atau MEXT (Ministry of Education, Culture, Sports, Science, and Technology). Yang mana pendidikan tidak dipisahkan dari budaya. Di satu sisi ada tanggung jawab mendidik, dan di sisi yang lain kemudian mem-budaya-kan apa yang telah dididik.
Pendidikan moral dan karakter agaknya sulit untuk diajarkan melalui teori saja—sebatas ‘belajar tentang’ moral dan karakter, tapi juga harus belajar dengan melakukan. Pendidikan di Indonesia kini sedang diarahkan menuju pendidikan karakter, hanya saja implementasi praktisnya belum jelas seperti apa. Dan yang jangan sampai dilupakan, apakah sistem di kita itu sudah membuat anak didik merasa enjoy belajar?

Pendidikan Karakter Jepang, Cerminan Bangsa Maju


Menyebut kata “Jepang”, yang terlintas di benak kita pasti tak jauh-jauh dari profil suatu negara yang canggih, maju, stabil, berbudaya tinggi, dan menguasai teknologi dan industri. Sebenarnya, bagaimanakah sebuah negara kepulauan yang luasnya terbatas dan sering dilanda bencana alam seperti gempa bumi dan tsunami mampu berjaya di dunia global sedemikian rupa? Kali ini kita akan melihat dari sistem pendidikan Jepang, mengapa mereka dapat maju hampir dalam berbagai bidang dan memiliki sumber daya manusia yang dapat diandalkan.
Kemajuan teknologi di Jepang, tak terlepas dari peran sistem pendidikan yang dikembangkan di negaranya. Pendidikan di Jepang mulai mengalami kemajuan sejak dilakukannya reformasi pendidikan pada masa Restorasi Meiji (Meiji Ishin) dan bertambah pesat setelah masa pendudukan Amerika Serikat (setelah kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II). Tekad dan semangat bangsa ini untuk bangkit dari keterpurukan sangat patut diacungi jempol, sebagaimana hasilnya dapat kita saksikan saat ini.
Pendidikan memegang peranan yang signifikan pada masa pertumbuhan dan perkembangan anak-anak sebagai generasi penerus bangsa. Pendidikan sedari dini, yang ditanamkan kepada siswa Jepang di sekolah dasar lebih ditekankan kepada pendidikan karakter dan pendidikan nilai-nilai moral. Sebagai contoh, dalam penyampaian mata pelajaran moral, tentang berbohong, pendekatan yang dilakukan oleh guru Jepang adalah tidak dengan mendoktrin tentang pentingnya untuk berlaku jujur, namun dengan mengajak anak-anak berdiskusi tentang akibat-akibat berbohong. Tidak ada yang malu bertanya dan mentertawakan teman yang sedang bertanya, bahkan dalam menjawab pertanyaan guru pun, semuanya beradu cepat serentak mengacungkan tangan seraya meneriakkan “haik” dengan lantang. Diskusi interaktif itu menggiring siswa untuk berpikir tentang pentingnya melaksanakan nilai-nilai moral yang akan diajarkan. Tidak ada proses menghafal, juga tidak ada tes tertulis untuk pelajaran moral ini. Untuk mengecek pemahaman siswa tentang pelajaran moral yang diajarkan, mereka diminta untuk membuat karangan, atau menuliskan apa yang mereka pikirkan tentang tema moral tertentu. Kadang mereka juga diputarkan film yang memiliki muatan moral yang akan diajarkan, kemudian mendiskusikan makna dari film tersebut.
Hal yang bertolak belakang dengan apa yang kita lihat di Indonesia, penyampaian pelajaran moral di sekolah lebih banyak hanya berupa doktrin, sebatas ritual dan hafalan belaka tanpa diikuti penjelasan makna mengapa semua itu harus dilakukan. Padahal, yang lebih penting adalah menanamkan pemahaman dan kesadaran pada anak mengapa suatu hal harus dan tidak boleh dilakukan.
Bercermin dari keberhasilan masyarakat Jepang dalam mendidik generasi penerus bangsanya melalui pendidikan karakter dari usia dini, hendaknya pendidikan moral dan karakter di Indonesia perlu dikembangkan dengan pola berpendapat melalui diskusi interaktif, dan sistem evaluasinya tidak dilakukan dalam bentuk multiple choice, melainkan dalam bentuk uraian dimana siswa dapat menjelaskan argumennya, sehingga dapat menunjukkan sejauh mana pemahaman siswa terhadap pendidikan moral itu sendiri, disamping itu peran keluarga dirumah, terutama ibu hendaknya juga dilibatkan dalam pendidikan moral ini demi menunjang keselarasan antara ilmu yang didapatkan di bangku sekolah dengan contoh pengaplikasiannya di kehidupan sehari-hari.
Salah satu contoh menarik yang mengajarkan tentang teamwork dan kepemimpinan, terlihat dari sistem keberangkatan siswa SD Jepang ke sekolah mereka. Siswa SD Jepang diharuskan berjalan kaki ke sekolah, mereka berkumpul di pos masing-masing tiap-tiap wilayah secara berkelompok, tidak ada yang berjalan sendiri, saling menunggu dan akan berangkat apabila anggota kelompok sudah lengkap, mereka berjalan berbaris di pimpin anggota kelas 6 yang berjalan di urutan paling depan. Jadwal masuk pintu gerbang sekolah hanya 10 menit, dari pukul 7:50-8:00. Menariknya, kelompok pertama yang mencapai gedung sekolah tidak akan memasuki gerbang sekolah terlebih dahulu, mereka berbaris rapi di depan gerbang, menunggu kedatangan kelompok yang lainnya. Begitu kelompok berikutnya tiba, mereka saling mengucapkan salam, “ohayougozaimasu! (selamat pagi), disambut langsung dengan jawaban “ohayougozaimasu!” kembali. Lalu mereka menyambung barisan menanti teman-teman lainnya datang, membuat barisan menjadi semakin panjang. Begitu kelompok terakhir datang, kelompok-kelompok tersebut memasuki pintu gerbang dengan barisan yang rapi, tidak berpencar, tanpa ada keributan, dan hanya membutuhkan waktu sekitar 10 menit. Meskipun dalam cuaca dingin bersalju, semua siswa tetap melakukannya dengan penuh semangat, rasa sabar yang tinggi dan tanpa berkeluh kesah.
Belajar dari hal tersebut diatas, dapat kita jadikan sebagai contoh dan ide yang bernilai apabila diterapkan juga kepada siswa di Indonesia, sehingga mampu mengajarkan arti tanggung jawab dan peran seorang siswa untuk bekerja sama dalam sebuah tim.
Berjalan efektifnya suatu metoda ajar dalam dunia pendidikan, tak terlepas dari peran seorang guru, sebab guru lah yang menjadi sosok teladan dan contoh yang baik bagi siswanya. Di Jepang sendiri, dengan diadakannya pelatihan guru untuk menjadi tenaga professional, salah satunya dengan pemberlakuan evaluasi guru, pemberian penghargaan dan bonus kepada guru yang berprestasi, pembentukan suasana kerja yang kondusif untuk meningkatkan etos kerja, dan pelatihan bagi guru yang kurang cakap di bidangnya, mampu menghasilkan guru-guru dengan kualitas yang sangat baik.
Perbaikan yang kita lakukan dalam bidang pendidikan dinegara kita tidak akan berhasil jika hanya dilakukan pada satu sisi. Seharusnya reformasi dilakukan menyeluruh agar sistem yang benar-benar berjalan baik dapat dihasilkan. Salah satu langkah yang paling penting dan efektif dalam reformasi sistem pendidikan kita adalah memperbaiki kualitas, kinerja dan penghargaan terhadap guru. Kualitas dan kinerja guru dapat dilakukan dengan meningkatkan komitmen dan kompetensi guru. Guru harus memiliki pemahaman yang mendalam atas materi yang akan disampaikan dan mampu menyampaikan materi dengan penuh kreatifitas dan improvisasi yang orisinil, sehingga proses belajar mengajar terasa segar dan alami. Pemerintah perlu merumuskan kebijakan guna mengembangkan kemandirian guru dan memberikan otonomi serta kebebasan yang lebih luas pada sekolah dan guru. Penghargaan terhadap profesi guru pun perlu ditingkatkan.
Semoga pendidikan karakter yang diperlihatkan masyarakat jepang, bisa menjadi contoh bagi kita semua, bahwa bangsa yang maju, tercermin dari karakter dan moral yang diperlihatkan oleh masyarakatnya sendiri.

Struktur Pendidikan di Jepang 2


1. Struktur pendidikan
------------------------------
Sama dengan Indonesia, di Jepang juga ada program Wajib Belajar (pendidikan dasar dan menengah) yang berlaku untuk penduduk berusia 6 hingga 15 tahun.
Tahun ajaran biasanya dimulai bulan April. Satu tahun ajaran dibagi menjadi 3 semester yang dipisahkan oleh liburan singkat musim semi dan musim dingin, serta liburan musim panas yang lebih panjang (lama liburan sekolah bergantung kepada iklim tempat sekolah tersebut berada). Di Hokkaido dan tempat-tempat yang banyak turun salju, libur musim dingin lebih panjang dan libur musim panas lebih pendek.

2. Preschool & Taman Kanak-kanak
-------------------------------------------------------
Pendidikan anak usia dini dimulai di rumah. Ada banyak buku dan acara televisi yang ditujukan untuk membantu ibu & ayah untuk mendidik anak-anak mereka dan metode ini dianggap lebih efektif. Sebagian besar pelatihan rumah dikhususkan untuk mengajar tata krama, perilaku sosial yang tepat, dan bermain terstruktur, meskipun jumlah verbal dan keterampilan juga tema populer. Orang tua sangat berkomitmen untuk pendidikan awal dan sering mendaftarkan anak-anak mereka di TK. Selain TK terdapat sistem yang dikembangkan dengan baik pusat penitipan anak yang diawasi pemerintah (hoikuen 保育 园).
Berikut ini kegiatan anak-anak di tingkat Tk (mulai dari jam 8.50 – 15.00) antara lain: masuk kelas, menaruh barang di loker, duduk di bangku masing-masing, absen, salam, materi hari ini, istirahat (ke toilet latihan cara buang air sendiri, cebok, dan mencuci tangan dengan sabun), menyanyi, senam pagi, kembali ke kelas, mencopot kaus kaki, bermain (di luar kelas/di kebun/halaman sekolah), merapikan alat bermain, bersiap makan (cuci tangan dan ugai = memasukkan air ke tenggorokan tapi tidak ditelan, untuk mencegah batuk/pilek), kembali ke kelas untuk makan siang (bento =bekal makan masing-masing), menggosok gigi, bermain di kelas (permainan tradisional atau modern), bersiap untuk pulang, menyanyi lagu/salam perpisahan, baris per kelas di depan sekolah, pulang.

3. Sekolah Dasar
-----------------------
Lebih dari 99% dari Jepang anak-anak usia sekolah dasar terdaftar di sekolah. Semua anak-anak memasuki kelas 1 pada usia 6 tahun, dan sekolah mulai dianggap sebagai peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan seorang anak.
Hampir semua pendidikan dasar berlangsung di sekolah umum; kurang dari 1% dari sekolah swasta (karena sekolah swasta cenderung mahal).
Kebanyakan sekolah negeri, tidak mewajibkan seragam, namun  harus mengenakan name tag di saku kiri baju. Lalu, biasanya ada juga badge di bahu kirinya, yang warnanya disesuaikan dengan tingkatan kelas (misalnya kuning untuk kelas 1).
Biasanya tas anak SD dilengkapi dengan peluit kecil (yang dibagikan gratis dari sekolah). Peluit ini diajarkan kpd anak-anak untuk ditiup kalo bertemu dengan orang asing  (tdk dikenal) yang mengganggu.
Kemudian juga harus bawa thermos air minum tiap hari (karena gak ada pedagang kaki lima yang nongkrong di pagar sekolah). Mereka juga diwajibkan untuk membawa mug kecil (wadah air sbg tmpt kumur2 pada saat sikat gigi sehabis makan siang). Lalu lap tangan dan serbet untuk alas makan siang. Semua alat itudibawa bolak balik ke sekolah, kecuali sikat gigi dan mug (tapi harus dicuci dahulu setiap kali pulang). Siswa SD di Jepang memiliki tugas melayani makan siang (menuangkan makanan ke piring) teman-temannya (beregu bergantian sesuai piket). Hal ini dilakukan atas dasar  untuk mengajarkan kerjasama tim dari mulai usia dini.
Pelajaran di tingkat SD biasanya hanya ada 4 yaitu : Huruf Jepang (menulis dan membaca), Matematika, Olahraga dan BudiPekerti.
Oh ya, pendidikan dasar di Jepang tidak mengenal ujian kenaikan kelas, tetapi siswa yang telah menyelesaikan proses belajar di kelas satu secara otomatis akan naik ke kelas dua, demikian seterusnya. Ujian akhir pun tidak ada, karena SD dan SMP masih termasuk kelompok "compulsoy education”, sehingga siswa yang telah menyelesaikan studinya di tingkat SD dapat langsung mendaftar ke SMP.
Tentu saja guru tetap melakukan ulangan sekali2 untuk mengecek daya tangkap siswa. Dan penilaian ulangan pun tidak dengan angka tetapi dengan huruf : A, B, C, kecuali untuk matematika. Dari kelas 4 hingga kelas 6 juga dilakukan test IQ untuk melihat kemampuan dasar siswa. Data ini dipakai bukan untuk mengelompokkan siswa berdasarkan hasil test IQ-nya, tetapi untuk memberikan perhatian lebih kepada siswa dengan kemampuan di atas normal atau di bawah normal. Perlu diketahui, siswa2 di Jepang tidak dikelompokkan berdasarkan kepandaian, tetapi semua anak dianggap `bisa` mengikuti pelajaran, sehingga kelas berisi siswa dengan beragam kemampuan akademik.

Compulsary Education (dalam bahasa Jepang disebut ‘gimukyouiku’) atau istilah dalam bahasa Indonesia adalah "program wajib belajar". 
Compulsory Education di Jepang dilaksanakan dengan prinsip memberikan akses penuh kepada semua anak untuk mengenyam pendidikan selama 9 tahun (SD dan SMP) dengan menggratiskan ‘tuition fee’, dan mewajibkan orang tua untuk menyekolahkan anak (ditetapkan dalam Fundamental Law of Education). Untuk memudahkan akses, maka di setiap distrik didirikan SD dan SMP walaupun daerah kampung dan siswanya minim (per kelas 10-11 siswa). Orang tua pun tidak boleh menyekolahkan anak ke distrik yang lain, jadi selama masa compulsory education, anak bersekolah di distrik masing-masing.
Tentu saja mutu sekolah negeri di semua distrik sama, dalam arti fasilitas sekolah, bangunan sekolah, tenaga pengajar dengan persyaratan yang sama (guru harus memegang lisensi mengajar yang dikeluarkan oleh Educational Board setiap prefecture). Oleh karena itu mutu siswa SD dan SMP di Jepang yang bersekolah di sekolah negeri dapat dikatakan `sama`, sebab Ministry of Education mengondisikan equality di semua sekolah. Saat ini tengah digalakkan program reformasi yang memberi kesempatan kepada sekolah untuk berkreasi mengembangkan proses pendidikannya, tetapi tetap saja dalam pantauan MOE. 

Dalam pengertian negara maju, compulsory education mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 
1) adanya unsur paksaan agar peserta didik bersekolah, 
2) diatur dengan undang-undang tentang wajib belajar, 
3) ada sanksi bagi orang tua yang membiarkan anaknya tidak sekolah
4) tolok ukur keberhasilan Wajar adalah tidak adanya orang tua yang terkena sanksi karena telah mendorong anaknya bersekolah.

Dengan adanya peraturan ini, maka kewajiban orang tua adalah memberikan pendidikan kepada putra-putrinya baik di sekolah maupun jika dia tidak mau, pendidikan di rumah pun (home schooling) bisa ditempuh.

Berbeda dengan Wajib Belajar di Indonesia dicirikan: 
1) tidak bersifat paksaan melainkan persuasif
2) tidak ada sanksi hukum, sekedar sanksi moral 
3) tidak diatur dalam undang-undang tersendiri
4) keberhasilan diukur dengan angka partisipasi dalam pendidikan
Karena hanyalah himbuan, pemerintah dan masyarakat tampak tidak serius menangani pendidikan.
Harusnya ini menjadi P.R bagi pemerintahan kita.

4. Sekolah Menengah Pertama 
-----------------------------------------
Tidak seperti siswa SD, siswa SMP memiliki guru yang berbeda untuk mata pelajaran yang berbeda.
Instruksi di SMP cenderung mengandalkan metode ceramah. Guru juga menggunakan media lain, seperti televisi dan radio, dan ada beberapa pekerjaan laboratorium.
Oh ya, saya juga mendapat info bahwa semua orang harus belajar karya klasik sejak SMP. Karya tertua yang terkenal adalah GENJI MONOGATARI atau HIKAYAT GENJI yang umurnya 1000 tahun! Tidak hanya sebatas informasi saja yang diberikan di SMP dan SMU Jepang, namun mereka juga diajari Tata Bahasa Jepang Klasik yang dipakai pada saat HIKAYAT GENJI ini dibuat.
Di tingkat SMP dan SMA, sama seperti di Indonesia, ada dua kali ulangan, mid test dan final test, tetapi tidak bersifat wajib atau pun nasional. Di beberapa prefecture yang melaksanakan ujian, final test dilaksanakan serentak selama tiga hari, dengan materi ujian yang dibuat oleh sekolah berdasarkan standar dari Educational Board di setiap prefektur. Penilaian kelulusan siswa SMP dan SMA tidak berdasarkan hasil final test, tapi akumulasi dari nilai test sehari2, ekstra kurikuler, mid test dan final test. Dengan sistem seperti ini, tentu saja hampir 100% siswa naik kelas atau dapat lulus.
Selanjutnya siswa lulusan SMP dapat memilih SMA yang diminatinya, tetapi kali ini mereka harus mengikuti ujian masuk SMA yang bersifat standar, artinya soal ujian dibuat oleh Educational Board di setiap prefektur. Di Aichi prefecture, SMA-SMA dikelompokkan dengan pengelompokan A, B. Pengelompokan tersebut dibuat dalam proses memilih SMA. Setiap siswa dapat memilih satu sekolah di kelompok A dan satu sekolah di kelompok B. Jika si siswa lulus dalam kelompok A, maka secara otomatis dia gugur dari kelompok B. Dalam memilih SMA, siswa berkonsultasi dengan guru, orang tua atau disediakan lembaga khusus di Educational Board yang bertugas melayani konsultasi dalam memilih sekolah. Ujian masuk pun hampir serentak di seluruh jepang dengan bidang studi yang sama yaitu, Bahasa Jepang, English, Math, Social Studies, dan Science. Di level ini siswa dapat memilih sekolah di distrik lain.

5. Sekolah Menengah Atas
-------------------------------------
Meskipun SMA tidak wajib di Jepang, 94% dari semua lulusan SMP melanjutkan ke tingkat SMA. Di tingkat ini, mulai banyak sekolah milik swasta (mencapai sekitar 55% ).
Siswa SMA tidak mengikuti ujian kelulusan secara nasional, tetapi ada beberapa prefecture yang melaksanakan ujian. Penilaian kelulusan siswa berbeda di setiap prefecture. Mengingat angka Drop out siswa SMA meningkat di tahun 1990-an, maka beberapa sekolah tidak mengadakan ujian akhir, jadi kelulusan hanya berdasarkan hasil ujian harian.
Untuk masuk universitas, siswa lulusan SMA diharuskan mengikuti ujian masuk universitas yang berskala nasional. Ini yang dianggap `neraka` oleh sebagian besar siswa SMA. Ujian masuk PT dilakukan dua tahap. Pertama secara nasional- soal ujian disusun oleh Ministry of education, terdiri dari lima subject, sama seperti ujian masuk SMA-, selanjutnya siswa harus mengikuti ujian masuk yang dilakukan masing2 universitas, tepatnya ujian masuk di setiap fakultas. Skor kelulusan adalah akumulasi ujian masuk nasional dan ujian di setiap PT. Seperti halnya di Indonesia, skor hasil UMPTN tidak diumumkan, tetapi jawaban ujian diberitakan via koran, TV atau internet, sehingga siswa dapat mengira2 sendiri berapa total score yg didapat. Siswa yang memilih Universitas dg skor tinggi, tapi ternyata skornya tidak memadai, dapat mengacu ke pilihan universitas ke-2. Namun jika skornya tidak mencukupi, maka siswa tidak dapat masuk Universitas. Selanjutnya dia dapat mengikuti ujian masuk PT swasta atau menjalani masa ronin (menyiapkan diri untuk mengikuti ujian masuk di tahun berikutnya) di prepatory school (yobikou)



6. Perguruan Tinggi 
------------------------


Secara umum sistem pendidikan tinggi di Jepang dapat dikategorikan ke dalam 4 bagian, universitas (Daigaku), akademi teknologi (Tanki-daigaku), sekolah tinggi teknik (Koto-senmon-gakko) dan sekolah kejuruan (Senmon-gakko).


Hampir sama dengan Indonesia, lama masa studi untuk pendidikan tinggi (sarjana) adalah 4 tahun kecuali bidang pendidikan kedokteran yang relatif menghabiskan  6 tahun. Untuk tingkat studi lanjutan, biasanya dibutuhkan waktu 2 tahun (program master) dan 3 tahun (program doktor).


Tahun akademik dimulai sekitar bulan April dan berakhir Maret tahun berikutnya. Perkuliahan dibagi dalam dua semester, semester pertama berlangsung dari Maret sampai dengan September dan semester kedua dimulai dari bulan oktober dan berakhir Maret.


Bahasa yang umum digunakan dalam proses belajar mengajar adalah bahasa Jepang. Namun, ada beberapa program tertentu yang menggunakan bahasa Inggris sebagai perantara. Oleh karena itu setiap mahasiswa asing yang ingin melanjutkan studi ke Jepang perlu mempersiapkan kemampuan bahasa ini dengan sebaik mungkin.

Jam pelajaran olahraga SD di Jepang


Sebaiknya berapa jam seminggu siswa di SD mendapatkan jam pelajaran olahraga ? Baru-baru ini ada diskusi hangat tentang jam pelajaran olahraga di SD yang dalam bahasa Jepang disebut taiiku (体育). Pemerintah bermaksud meningkatkan jam pelajaran olahraga.
Tidak seperti di Indonesia, jam pelajaran olahraga untuk semua kelas di SD adalah 2 jam per minggu. Jumlah jam pelajaran ini bahkan sama untuk SMP dan SMA. Bisa dikatakan olahraga adalah pelajaran pelengkap saja. Sementara di Jepang jam pelajaran olahraga di SD berbeda untuk setiap jenjang kelas dan sekolah. Dalam tulisan ini saya hanya akan memfokuskan pada SD saja.
Menurut gakushuushidouyoryou (Kurikulum Pembelajaran) yang baru, jam pelajaran olahraga di SD per tahunnya adalah sbb, kelas 1 SD adalah 102 unit jam, kelas 2, 3, dan 4 sebanyak 105 unit jam, dan kelas 5 dan 6 masing-masing 90 jam plus pelajaran jasmani 12 jam (total 597 jam).Jam pelajaran olahraga sebelumnya adalah masing-masing 90 unit jam (total 540 jam). Dengan demikian jam pelajaran olahraga bertambah sekitar 57 jam. Secara keseluruhan jam belajar di SD juga meningkat sebesar 1.05 kali. Sebagai pembanding jam olahraga di SMP kelas 1-3 masing-masing 105 jam (total 315 jam) yang naik dari 90 jam (total 270 jam) di periode sebelumnya.
Mengapa pemerintah menaikkan jumlah jam pelajaran secara signifikan di SD dan SMP ?
Dalam sebuah diskusi di milis (anggotanya semua orang Jepang), beberapa member menyebutkan perlu ditambah lagi jumlah jam pelajaran olahraga di sekolah, sementara seorang kepala sekolah mengatakan bahwa dengan penambahan jam olahraga, jumlah jam belajara mapel lain harus dikurangi, dan ini membuat mereka kelabakan dalam menyelesaikan materi belajar setahun.
Pemerintah mengambil penyelesaian dengan menaikkan jumlah jam pelajaran yang lain pula, sehingga total jam belajar dalam setahun menjadi 3841 atau naik sebesar 350 unit. Penambahan jam pelajaran olahraga ditetapkan karena berdasarkan survey tentang kemampuan jasmani dan kekuatan tubuh anak-anak Jepang, didapati bahwa mereka kurang sehat dan menurun kekuataan fisiknya (Tentang hal ini saya pernah menuliskannya dalam Majalah Inovasi Online, tentang sekolah sehat di Jepang).
Sebenarnya pelajaran olahraga di SD di Jepang sangat menarik dan hampir semua anak menggemarinya. Mereka belajar dasar-dasar gerakan tubuh dan kekuatan organ tubuh, seperti kemampuan berjalan cepat, berlari, menggenggam, melempar, berputar pada ayunan, mengepal, lompat kuda-kuda, dll. Semua keahlian ini akan dilombakan dalam undoukai (pesta olaharaga sekolah) yang diselenggarakan setiap tahunnya.
Berdasarkan survey baru-baru ini, anak-anak di Kyuushu dinilai sebagai anak tersehat dan terkuat fisiknya di Jepang. Dalam sebuah siaran TV ditunjukkan bahwa anak-anak di sana tidak saja berolahraga pada jam olahraga, tetapi setiap kali ada jam istirahat mereka berhamburan mendatangi tempat dan fasilitas olahraga, bermain ayunan, berputar, memanjat, dll.
Dalam sebuah penelitian yang pernah pula saya tuliskan dalam blog ini, disampaikan bahwa otak akan bekerja dengan cepat dan baik jika tubuh, terutama telapak kaki sering dipakai. Jalan atau berlari tanpa sepatu akan memijat secara otomatis urat-urat di tapak kaki dan memungkinkan lancarnya pergerakan darah menuju otak, sehingga kebanyakan anak-anak berprestasi di Jepang lahir karena mereka mempunyai kebebasan dan waktu yang lebih banyak menggerakkan badan,bermain, berlari di masa kecilnya.
Jam pelajaran olahraga di SD di Jepang tidak sekedar jam yang diadakan seadanya, tetapi benar-benar merupakan jam pelajaran yang dianggap penting untuk menunjang kerja otak anak yang menghasilkan kemampuan akademiknya.
Bagaimana dengan di Indonesia ? Apakah masih tetap akan bertahan dengan jam pelajaran olahraga dua jam per minggu ? Pada masa pendudukan Jepang, jam pelajaran olahraga di SD hingga SMA sebanyak 5 jam per minggu. Saya kira konsep yang diterapkan pada masa itu sejalan dengan prinsip orang Jepang yang mengutamakan tubuh yang sehat sebagai penunjang menerima ilmu.