Minggu, 10 Maret 2013

Pendidikan Moral Orang Jepang


Dulu, sewaktu pertama kali saya datang ke Jepang, berbagai euphoria  saya rasakan. Begitu kagumnya saya melihat Jepang yang sangat teratur, disiplin, dan “bermoral”. Dari mana semua ini dibangun? Sedangkan saya tahu bahwa orang-orang Jepang itu rata-rata tidak beragama. Negara juga tidak pernah campur tangan dalam urusan agama. Tidak ada pengaturan agama dalam konstitusi Jepang, agama adalah urusan individu. Departemen Agama, Menteri Agama, apalagi hari libur agama tidak diadakan.
Dalam dunia pendidikan, agama tidak diajarkan secara khusus di dalam kelas. Pada dasarnya, agama bagi orang Jepang hanya sekedar budaya, tradisi, atau kebiasaan saja. Tentu ini menghadirkan pertanyaan besar bagi saya: Bagaimana mengajarkan moral tanpa agama? Sedangkan yang saya pahami selama ini, siapapun yang ingin moralnya menjadi baik, maka ia harus memperdalam agamanya.
Pertanyaan besar ini yang menjadi salah satu motivasi saya untuk “blusukan” ke lingkungan pendidikan dasar di Jepang. Kenapa pendidikan dasar? Karena saya pikir dari sinilah pendidikan moral dan karakter itu bermula. Alhamdulillah, saya berkesempatan hadir memenuhi undangan SD Oshino yang menjadi bagian dari English Exchange Project.
Sempat berdiskusi dengan salah seorang guru di SD tersebut, Ishimaru sensei. Beliau bertanya ke saya, “Apa yang membuat Jepang ini menarik bagi kamu?”. Saya jawab bahwa Jepang itu “unik” dan dua hal yang hanya ada di Jepang adalah pelajaran dari keadaan masyarakat Jepang dan kulturnya yang khas. Saya katakan ke beliau, Jepang itu punya dua sisi yang saling bertolak belakang, tapi itu sebenarnya menjadi sinergi bagi kemajuan Jepang.
Di satu sisi Jepang adalah negara modern dengan kemajuan teknologinya. Tapi, di sisi lain, Jepang juga merupakan negara yang sangat tradisionil, baik dari cara berpikir maupun kultur masyarakatnya. Di satu sisi, Jepang sebagai negara dengan kekuatan ekonomi ketiga terbesar di dunia. Tapi, di sisi lain, orang Jepang masih memegang norma sedari nenek moyang mereka dan spirit tersebut masih dipertahankan hingga kini. Norma dalam masyarakat Jepang sangat terkait dengan ajaran Shinto dan Budha, tetapi menariknya kedua agama ini tidak diajarkan di sekolah dalam bentuk pelajaran wajib.
Kurikulum sekolah di Jepang memiliki tiga aspek: subjek (科目 – kamoku), pendidikan moral (道徳教育 – doutoku-kyouiku), dan ekstrakurikuler. Pendidikan moral dalam bahasa Jepang adalah道徳教育 (doutoku-kyouiku) dan merupakan gabungan dari kata 道徳 (doutoku) yang artinya moral; 教育 (kyouiku) yang artinya pendidikan. Kata moral道徳 (doutoku) disusun dari kanji 道 (michi – jalan) dan 徳 (toku – kebajikan). Jadi, moral adalah jalan kebajikan.
Karakter道banyak dipakai dalam terminologi Jepang, seperti 茶道chadou (tea ceremony), 武士道bushidou, 剣道kendou, 合気道aikidou, 柔道judou (olahraga tradisional Jepang), dan書道shodou (kaligrafi). Filosofi 道 merepresentasikan proses metamorfosis dengan spirit pengulangan (repetisi) untuk mencapai kesempurnaan, hingga mencapai taraf “repetition without thinking” yang artinya ini telah menjadi kebiasaan (habit). Demikian juga moral道徳dan karakter yang harus terus dilatih dan diulang terus-menerus hingga mencapai taraf kesempurnaan (habit). Karena habit itu dilahirkan dari ayah yang bernama latihan dan ibu yang bernama repetisi.
Jika dalam proses metamorfosis tersebut mengarah pada kehidupan yang immoral, maka akan disebut 不道徳 (fudoutoku), yaitu bukan pada jalan yang benar. Sebaliknya, akan disebut道を極める (michi wo kiwameru), yaitu mengambil jalan ke tujuan utamanya. Maka, karakter 道 sering digunakan juga untuk menggambarkan keadaan dalam proses belajar atau mengasah keterampilan. 道 adalah nilai sosial dalam kultur Jepang.
Konsep道 diungkapkan dalam bentuk aslinya sebagai bushi (武士) selama periode feodal, lebih dikenal dengan spirit bushidou ( 武士道). Bushidou dipandang sebagai sumber hukum moral di Jepang. Sebagaimana pasukan Barat, samurai (bushi) bersumpah setia kepada tuan mereka dan siap mengorbankan dirinya untuk tuan dan negerinya. Untuk memenuhi perannya itu, samurai dilatih secara fisik dan mental. Dan ini mengisyaratkan adanya latihan dan repetisi.
Dalam penerapannya di lingkungan SD, anak-anak dilatih berbagai kebiasaan dengan metode learning by doing, seperti: makan siang bersama, bekerjasama dengan teman, mengucap salam, aktivitas motorik (olahraga), dan berani tampil di depan kelas. Dan guru tidak pernah lupa memuji mereka, untuk menyuplai semangat dan kebanggaan yang selalu terkenang.
Di SD Jepang juga diajarkan pendidikan kebiasaan hidup (生活科 – seikatsuka). Hipotesis saya, pembekalan di masa pendidikan dasar inilah yang membuat kedisiplinan dan keteraturan dalam masyarakat Jepang.
Di sekolah Jepang, anak-anak langsung dihadapkan dengan pengalaman. Saat mereka belajar bahasa Inggris, mereka langsung dipertemukan dengan orang asing seperti dalamEnglish Exchange Project beberapa hari lalu. Anak-anak SD di Jepang sedang giat-giatnya belajar bahasa Inggris, tapi di negeri “I” sana kurikulum bahasa Inggris akan dihapuskan. Tanya kenapa?
Belakangan juga jam pelajaran olahraga diberikan melebihi jam mata pelajaran yang lain. Sewaktu saya SD dulu, jumlah jam pelajaran olahraga untuk semua kelas di SD sebanyak 2 jam per minggu. Padahal, jam pelajaran ini yang paling saya tunggu-tunggu. Jumlah jam pelajaran ini bahkan sama untuk SMP dan SMA. Bisa dikatakan olahraga adalah pelajaran pelengkap saja. Sementara di Jepang jam pelajaran olahraga di SD berbeda untuk setiap jenjang kelas dan sekolah.
Kita sudah mahfum bahwa dunia anak-anak adalah dunia bermain. Maka, memang sebaiknya pelajaran yang lebih banyak diberikan adalah yang merangsang gerak motoriknya, seperti olahraga. Melalui metode ini juga akan lebih mudah mengajarkan kebiasaan-kebiasaan kepada mereka melalui latihan dan repetisi.
Sebenarnya pelajaran olahraga di SD di Jepang sangat menarik dan hampir semua anak terlihat enjoy. Sehabis jam makan siang bersama, ruangan kelas di-set sebagai arena bermain, sehingga anak-anak bebas bermain apa saja seperti lompat tali. Nampaknya, kita melupakan satu hal dari proses pembelajaran: bagaimana supaya bisa enjoy dalam prosesnya. Ada kajian pedagogik yang cukup menarik, yakni tentang teori limbik otak yang terbuka ketika anak didik merasa enjoy dengan apa yang dipelajari, sehingga materi yang diajarkan akan lebih mudah terserap.
Ada perbedaan antara ‘belajar tentang’ dan ‘belajar (dengan melakukan)’. Misalnya, belajar tentang moral ‘sabar’, berarti mempelajari teori-teori yang terkait tentang sabar dan itu dapat dilakukan tanpa perlu merasakan situasi dimana kita harus bersabar (cukup melalui video ceramah).
Lain halnya dengan belajar (dengan melakukan) bersabar. Konon, sabar itu ilmu tingkat tinggi; belajarnya setiap hari, latihannya setiap saat, ujiannya sering mendadak, dan sekolahnya seumur hidup. Bahwa belajar (dengan melakukan) pada dasarnya berarti mempraktikkan sesuatu, sedangkan ‘belajar tentang’ hanya sebatas pada tahap mengetahui saja.
Di Jepang, pendidikan ditangani oleh 文部科学省(monbukagakusho) atau MEXT (Ministry of Education, Culture, Sports, Science, and Technology). Yang mana pendidikan tidak dipisahkan dari budaya. Di satu sisi ada tanggung jawab mendidik, dan di sisi yang lain kemudian mem-budaya-kan apa yang telah dididik.
Pendidikan moral dan karakter agaknya sulit untuk diajarkan melalui teori saja—sebatas ‘belajar tentang’ moral dan karakter, tapi juga harus belajar dengan melakukan. Pendidikan di Indonesia kini sedang diarahkan menuju pendidikan karakter, hanya saja implementasi praktisnya belum jelas seperti apa. Dan yang jangan sampai dilupakan, apakah sistem di kita itu sudah membuat anak didik merasa enjoy belajar?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar